Terbenam Dalam Cakrawala - Sebuah Kisah tentang Kehilangan, Pengorbanan, dan Penerimaan


Ilustrasi wanita memandang senja di pantai - Cerpen Terbenam Dalam Cakrawala

Hai, kalian yang ada di sana, kali ini aku mau membagikan sebuah cerita pendek berjudul Terbenam Dalam Cakrawala. Cerita ini mengangkat tema perjalanan emosional seorang Ibu dalam kesepiannya yang pada akhirnya belajar menerima kepergian, dan merangkul kehidupan baru. Selamat membaca..

...

Diana berdiri di depan jendela kamarnya, memandang hujan dan pesisir pantai malam yang gelap. “Aku terlempar di dunia yang benar-benar tanpa persetujuanku.” Bisiknya, dengan kekecewaannya pada semesta. Diana melihat foto berbingkai mendiang ayahnya yang tergeletak di meja—Diana tersenyum dan menghela napas, senyumannya terasa seperti pisau, merasakan kesepian itu merayap pelan seperti embun di kaca.


Di samping foto ayahnya, terlihat foto ibunya yang mengenakan gaun biru kuno—dia juga merindukan sosok ibu yang selalu memberinya kasih. Diana mengelus foto berbingkai mendiang ibunya. “Bu, sudah 15 tahun lamanya menghilang dari radar Diana, tapi aku sebagai seorang ibu masih menyalahkan diri sendiri, andai Ibu masih ada, aku nggak akan pernah merasa kesepian selama yang aku pernah rasakan. Lagi-lagi semua pergi tanpa memberiku kabar.” Gumamnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Diana hendak ke kamar mandi, tiba-tiba dia mendengar sesuatu: suara lembut yang familiar. “Diana...”  

 

Diana membeku, memalingkan badannya, perlahan matanya menuju sumber suara. Menelusuri ruang tamu yang remang-remang, akhirnya tertuju pada sebuah bayangan dekat pintu, sosok itu terlihat jelas. Terlihat oleh cahaya petir yang menyambar-nyambar di luar, menerangi siluet, masuk melalui celah-celah rumah yang ada di ruangan itu, bayangan yang menyerupai seorang perempuan dengan gaun biru.

 

Jantungnya berdebar kencang, dengan langkah gamal, Diana mendekat, “Ibu...?” ucapnya, suaranya nyaris tertahan.

 

Tiba-tiba, suara ketukan keras menghantam pintu.

“Ibu! Aku pulang Bu!” teriak Raka dari luar, di balik pintu.

 

Diana tersentak, lalu menyapu keringat di pelipisnya dan berusaha menenangkan napas yang tersengal sebelum membuka pintu.

 

“Iya, Nak. Sudah selesai belajarnya?” tanyanya, berusaha membuat suaranya terdengar normal.

 

“Udah!” jawab Raka dengan ketus sambil melepas sepatu.

Matanya menyipit, memperlihatkan ibunya yang terlihat pucat. “Ibu kenapa? Mukanya pucat sekali. Keringetan lagi.”

 

“Ah, ini... gerah saja, Nak. Walaupun di luar sedang hujan, di dalam hawanya terasa panas,” jawab Diana sambil mengipasi wajahnya dengan tangan. “O..ya?” Raka terdiam sebentar, masih curiga. “Aku mau mandi dulu, ya. Badan lengket banget.”

 

“Iya, Nak,” ucap Diana, sedikit terbatah-batah dengan suara yang sedikit bergetar dan terburu-buru saat Raka berjalan meninggalkannya sendirian di ruang tamu, dengan bayangan yang sudah menghilang.

 

“Aku menyukai pukul 05.00 pagi,” kata Diana dengan ritme yang sudah hafal di luar kepala: menyapu lantai ruang tamu yang berdebu, menata ulang sofa yang sedikit miring, dan memasak nasi serta telur dadar sederhana untuk bekal Raka. Setiap senyuman ikhlas yang diperjuangkan, Diana tanamkan sendiri setiap paginya, agar dia punya cukup keberanian menjalani hari.  

 

Diana adalah seorang guru honorer di sebuah Sekolah Dasar desa yang ada di Jawa Timur, gajinya 35 ribu per harinya, dan dia hanya dipanggil sepuluh hari dalam sebulan. Itu artinya, 350 ribu harus cukup sebulan. Diana memetik setiap senyuman sepanjang hari yang bisa dia kumpulkan sebelum matahari terbenam. Meski begitu, tapi hidup tidak semudah itu. Dalam hari-hari tanpa mengajar, Diana berjualan ikan di pasar—yang dia beli dari nelayan setempat di pesisir pantai, diangkut dengan keranjang anyaman yang sudah reot.

 

Di setiap siklus harian yang terus berulang, suatu sore, sepulang mengajar, Diana membuka laci tempat ia menyisihkan uangnya untuk membeli ikan dari nelayan, lalu ia mengambilnya. Saat hendak melangkah keluar, matanya tertuju pada celana usang yang masih tergantung di jemuran dekat pintu.

 

“Andai.. pakaian itu masih dipakai Ayah,” gumamnya dalam hatinya, suara itu nyaris tak terdengar. Sebagian hatinya masih tersembunyi di sudut kenangan yang sama: seolah berharap, ayahnya akan pulang, barangkali sore ini, atau malam nanti.

 

Lalu ingatannya menyelinap ke masa lalu.

“Ayah meninggalkan kita selang beberapa hari kemudian, Ibu—di tengah depresinya—menyuruhku membereskan rumah. ‘Turunkan semua pakaian Ayah yang masih tergantung di jemuran,’ katanya. ‘Sembunyikan semua peralatan memancingnya. Baru Ibu akan pulang.’”

 

Karena Diana masih ingat betul: bagaimana ibunya sering menghilang ke pesisir pantai, duduk sendiri, menatap matahari terbenam, seolah mencari sesuatu—atau seseorang—di balik cakrawala.

 

Kini, Diana sendiri berdiri di sini, menatap matahari yang sama. Senyum tipis menjalar di bibirnya—sebuah senyum yang dibumbuhi kerinduhan, dan sedikit keikhlasan. Cahaya jingga menyapu wajahnya, menerangi setiap sudut rumah yang sunyi, dan untuk sesaat, hingga ia tersenyum; ia merasa terhubung dengan ibunya... dan ayahnya.... dalam keheningan yang sama.

 

“Ibu pergi dulu ya, Raka. Tolong jaga rumahnya ya,” ucap Diana sambil  menatap kamar Raka yang pintunya tertutup.

 

“Iya.” Jawab Raka singkat dari balik pintu, dengan suara tertahan dan acuh.

 

Saat langkah kaki Diana hendak melangkah keluar, terdengar suara pecahan kaca yang jatuh, lalu memecah kesunyian, dengan refleknya, “Raka! Suara apa itu?” teriaknya, jantungnya berdebar.

 

“Nggak tahu Bu, tikus paling,” sahut Raka yang masih di balik pintu, tanpa sedikit pun berniat membukanya.

 

“Tolong dicek dulu, Nak! Ibu mau ke pesisir,”

Diana meminta, dengan suara yang halus.

 

“Raka lagi sibuk Bu. Lagi belajar buat ujian,”

bantah Raka dengan nada kesalnya.

 

Diana menghela napas. Dengan langkah berat, ia mencari sumber suara itu dengan sendiri. Ruang tamu kosong, dapur bersih, hingga akhirnya di kamarnya sendiri, ia menemukan kekacauan: bingkai foto ayah dan ibunya berserakan di lantai, kacanya pecah berantakan secara misterius.

 

“Aduh.. ini kelakuan siapa?”

“Raka! Kamu lihat ini—ini ulah siapa?” teriak Diana, dengan suara setengah histeris.

Raka akhirnya keluar, wajahnya masih masam. “Ibu tahu sendiri Raka seharian nggak masuk sini. Raka di kamar terus,” protesnya, tapi matanya pun terkejut melihat kekacauan itu.

 

Dengan perasaan gelisah, Diana duduk dengan kaki yang lulus, tangan gemetar, mengambil potongan kaca. Di tengan keruntuhan, foto ayah dan ibunya masih utuh—tersenyum seperti diam-diam menyimpan rahasia. Lalu, matanya menangkap sesuatu: sebuah tulisan tipis, di balik foto ibunya.

Dia membaliknya perlahan.

Terdapat satu kalimat coretan pena yang sudah memudar, namum masih bisa terbaca:

 

“Kau tidak harus membawa semua beban ini sendiri, Nak.”

 

Diana terdiam.

Udara di kamar itu tiba-tiba terasa berubah.

Sebuah pesan dari masa lalu—dari Ibunya sendiri—tiba-tiba hadir di saat yang paling tidak terduga.

 

Seiring dalam berjalannya waktu, Diana sering tenggelam dalam renungan. Di tengah kesunyiannya, keinginan untuk melihat Raka hidup lebih baik—tidak seperti dirinya—pelan-pelan terkikis oleh rasa takut yang menggunung. Diana tidak ingin sendiri dan kehilangan orang yang dia sayang. Tidak sekarang. Tidak untuk kesekian kalinya lagi.

 

Pada suatu siang, terlihat Diana sedang duduk di ruang tamu, menilai beberapa hasil karya seni rupa muridnya, konsentrasinya buyar saat Raka membuka pintu kamarnya dengan wajah gembira.

 

“Ibu, aku diterima di kampus perguruan tinggi Ibu, di Jakarta!” katanya, dengan penuh semangat.

 

Seketika itu, rasa takut menusuk dada Diana. Senyumnya pucat, dipaksakan.

 

“Nak, kalau boleh Ibu jujur....,” suaranya kecil, hampir tertahan. “Ibu agak keberatan.”

 

Wajah Raka langsung berubah, “Ibu kok sekarang jadi gini, nggak mendukung mimpi Raka?” bantahnya, dengan suaranya mulai meninggi.

 

“Bukan tidak mendukung, sayang,” Diana mencoba tenang. “Tapi kenapa tidak di kota dekat-dekat sini saja? Biayanya juga pasti lebih terjangkau...”

 

“Tapi Raka dapet beasiswa penuh, Bu!” Raka membentak, frustasi. “Ibu dulu yang bilang, harus kuliah tinggi biar sukses, biar ga kayak..”

 

Dia terhenti, tapi Diana tahu apa yang akan dikatakannya.

 

“Biar nggak kayak Bapak, yang ninggalin kita tanpa tanggung jawab, ninggalin kita pas susah begini. Nah, sekarang Raka mau berusaha malah Ibu tahan-tahan.”

 

“Raka, jangan bicara begitu sama Ibu,” ucap Diana dengan suara yang luluh dan gemetar.

 

“Tapi itu beneran, Bu! Di sini Raka nggak ada masa depan, Raka mau berkembang!”

 

“Jadi Ibu yang menghalangi mimpi kamu, ya?” suara Diana pecah.

 

“Iya! Raka mau pergi aja dari rumah.”

 

Diana Panik.

“Ohh begitu, mau tinggalkan Ibu sendirian? Persis seperti ayahmu dulu?”

 

Raka terdiam sejenak, terluka oleh kalimat itu. Matanya berkaca-kaca. Tanpa kata lagi, Raka berbalik dan masuk ke kamarnya, menutup pintu dengan keras. Diana terduduk lemah, hanya terdengar tangisan yang tertahan dari balik pintu kamar Raka. Ruang tamu yang tadinya sunyi, kini semakin hampa.

 

Pada pukul setengah dua dini hari, Diana di tengah ibadah malamnya, rasa pilu yang sama menyergapnya—rasa yang pernah menghampiri saat suaminya pergi, meninggalkannya sendirian mengurus Raka yang masih bayi. Malam ini, dia ingin sekali bercerita, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mendengar. Hanya doa yang menjadi pelariannya, mengharap kelegaan dari Sang Pencipta yang ia percaya.

 

Tanpa disadari, air matanya menetes. Tiba-tiba, dari sudut ruangan, sebuah bayangan samar muncul—arwah ibunya, dengan gaun kuno yang selalu dikenakannya dulu. Diana tidak melihat, tapi merasakan kehadiran itu. Lalu, sebuah pelukan halus menyelimutinya, hangat dan familiar.

 

“Maafin Ibu sayang,”  bisik suara lembut di dekat telingahnya.

 

Diana kaget, hampir menjerit. Raka yang terbangun mendengar suara itu, ingin menghampiri ibunya, tapi sedikit malas karena merasa terganggu.

 

“Bu... apa Ibu ada di sini, nemenin Diana,” ucap Diana dengan ekspresi yang masih terkejut.

 

“Ibu di sini, sayang,” suara itu kembali terdengar, menggetarkan udara, “Hanya bisa kamu dengar dan rasakan, tidak kamu lihat dan sentuh”

 

 

Diana memandang sekeliling ruangan, ketakutan dan rindu yang bercampur. “Ibu, jangan pergi lagi...”

 

“Ibu tidak bisa terus begini, Nak. Ibu tidak tenang di sini. Ibu melihatmu menderita setiap hari.”

 

“Ibu lihat Diana terus?” tanya Diana dengan terheran-heran.

 

“Ibu... Diana kangen banget sama Ibu,” tangisnya pecah.

 

“Maafin Ibu Nak, seharusnya Ibu lebih kuat untukmu dan menemani kamu, bukan terlalu larut dalam duka setelah Ayahmu pergi,”

 

Dalam tangisnya, Diana teringat kembali malam ketika hari kepergiaan ayahnya sewaktu pergi melaut sebagai nelayan pada malam itu, ombak menghantam perahu kecilnya di tengah lautan yang  keras, seorang diri. Angin darat menghembus perahu yang ditumpangi ayahnya ke lautan, tapi ia tidak pernah kembali.

 

Tiba-tiba, lemari kayu di kamarnya bergeser perlahan. Di baliknya, tersembunyi sebuah buku tua. Diana membukanya—Buku Harian Ayah.

 

Tertulis dengan rapi:

Aku hanya punya satu keinginan: membawa istri dan anakku berlayar menikmati matahari terbenam di lautan, tapi lautan terlalu berbahaya untuk anak kecil.”

 

Diana terisak. Dia tahu apa yang harus dilakukan.

 

Pada malam dini hari kesunyian itu, Diana berlari menuju pesisir, terlihat perahu tua ayahnya masih teronggok, setengah rusak diterjang ombak. Dengan tangannya yang masih gemetar, dia mulai memperbaiki perahu itu.

 

“Aku harus memperbaiki perahu ini.”

 

Waktu demi waktu...

 

Raka yang melihat dari kejahuan dengan mata menangis tak terbendung, melihat ibunya sungguh tergigih dari apa yang dilakukannya. Raka tahu apa yang ada di dalam isi hati ibunya. Raka menghampiri, mencoba membantu.

 

Mereka berdua bekerja sama, menyambung kembali kayu yang patah, menambal lubang dengan getah dan kain terpal: Hari berganti, tapi rasanya sia-sia, tidak mungkin membenarkan perahu dalam sekejap,

 

Pada sebuah sore yang jingga, Diana dan Raka berdiri di dermaga. Matahari mulai terbenam, melukis langit dengan warna emas dan jingga.

“Maafkan Diana, Ayah. Mungkin di sini saja kita berkumpul, menikmati keindahan yang kau ciptakan untuk kita,” bisik Diana ke angin laut.

 

Raka memeluk ibunya erat, “Raka di sini, Bu. Selalu.”

 

Diana tersenyum lega. Untuk pertama kalinya, dia merasa merelakan.

“Nenek punya keinginan lain tidak, Bu?” tanya Raka.

“Dulu, Nenek kamu ingin punya ladang, lalu sebagian hasilnya dibagikan ke yang membutuhkan.”

“Semoga kita bisa mewujudkannya, Ibu.”

“Aamiin, Nak.”

 

10 tahun kemudian...

Sebidang ladang hijau terbentang di tepian pantai. Kini, Diana dengan rambut yang sudah tak hitam lagi, bersanding dengan suami barunya, dan Raka yang sudah mempunyai istri, kini ia telah menjadi seorang insinyur pertanian, berdiri di tengah hamparan tanaman padi yang subur. Hasil panennya mereka bagikan kepada nelayan dan warga sekitar.

 

Di tengah ladang, sebuah angkringan kokoh berdiri, Diana tersenyum melihat anaknya tumbuh dewasa dengan cara yang hebat, Diana sudah memahami, bahwa kekuatan sejati justru terletak pada keberanian untuk menjadi lemah, dan kepergian bukanlah pengkhianatan, melainkan bagian dari pembelajaran dari alur hidup yang harus diterima.

 

Matahari terbenam sekali lagi dalam cakrawalanya, menyinari senyum mereka semua—sebuah keluarga baru yang telah menemukan kebahagiaan dengan cara mereka sendiri.


Bagaimana pendapat kalian tentang perjalanan Diana? Tulis di kolom komentar ya jika punya perasaan yang sama seperti Diana:)

Baca juga cerpen lainnya dari blog ini Cerpen Aland 

Komentar

Posting Komentar

Populer Post

Time is Going Down: Ketika Waktu Terasa Berlari tapi Hidupmu Ingin Berjalan

"Jalan Pulang" -Vol. 03 (Cerita Mini)