Time is Going Down: Ketika Waktu Terasa Berlari tapi Hidupmu Ingin Berjalan
Sebuah studi dari Journal of Experimental Social Psychology (2021) mengungkap bahwa orang yang melakukan ritual harian dengan kesadaran penuh (mindful rituals) mengalami waktu 23% lebih "panjang" dibanding mereka yang terburu-buru.
Contoh konkretnya: Minum kopi pagi bukan sambil scroll media sosial, tapi benar-benar merasakan hangatnya cangkir, aroma biji kopi, sekedar melamun di teras, dan mendengar suara burung di luar.
Atau juga,
"Tech-free walks" yaitu jalan kaki 15 menit tanpa gadget, mengamati detail sekitar (bayangan pohon, tekstur jalan) - aktivitas sederhana yang dalam penelitian UC Berkeley mampu mengaktifkan default mode network, jaringan otak yang terkait dengan persepsi waktu meluas dan kreativitas.
"Tapi memang sekarang, aku mau mengisi hal-hal dengan stories."
Kegelisahan yang tak lama ini tentang (“persepsi waktu.") Aku mau mengatakan bahwa,
"Waktu tidak mundur, tapi kita bisa mengisi langkahnya dengan hal-hal yang membuatnya terasa abadi."
Aku membaginya dengan berbagai persepsi waktu secara subjektif, sebuah pola pikir yang membuat aku merasa bukan waktu fisik yang benar-benar mundur, tapi ada hal lain. Ini sangat manusiawi dan terkait dengan:
1. Perubahan Pola Pikir tentang Waktu
Dulu, waktu ulang tahun tiba, aku pernah berpikir:
"Apa lagi ya, yang harus dilakukan ke depannya?" (orientasi masa depan, penuh akan ekspektasi). Ini adalah pola pikir yang sangat umum, terutama di usia yang masih produktif atau fase ketika hidup masi mencapai "daftar pencapaian."
Ciri-ciri orientasi masa depan bisa meliputi:
1. Target
Waktu yang diukur dari goals yang belum tercapai, misal: "Aku harus punya X di usia Y."
Contohnya: "Umur 25 karir harus stabil, 30 harus menikah," dst.
2. Ekspektasi > Kenyataan
Kebahagiaan sering dikaitkan dengan "nanti," bukan "sekarang."
Misal: "Aku akan bahagia kalau sudah lulus/sukses/kaya."
3. Time as a Resource
Waktu dipandang sebagai modal yang harus diinvestasikan untuk hasil masa depan.
Misal: "Hari ini harus produktif, besok akan lebih baik."
4. Minim Perhatian pada Momen Kecil
Karena fokus pada "big picture," hal-hal sederhana (seperti kebersamaan) sering terlewat.
Minim perhatian pada “momen kecil,” juga menjadi concern.
Aku perlihatkan salah satu contoh ceritanya: saat momen weekend, di sebuah mall, di meja restoran itu, empat anggota keluarga duduk bersama namun terpisah: sang Ayah menatap laporan kerja di ponsel, Ibu sibuk menggeser feed sosial media, sementara kedua anak asyik dengan game dan chat mereka sendiri, hanya suara denting sendok dan notifikasi yang sesekali memecah kesunyian, seolah kebersamaan hanyalah rutinitas tanpa kehadiran.
Dari gambaran cerita di atas mengandung pesan tentang kebersamaan fisik tak berarti tanpa interaksi nyata.
Bahwa waktu akan terus berjalan, bahkan berlari lebih cepat, tapi aku enggak ingin menyia-nyiakannya, aku hanya ingin berjalan.
Sekarang, aku lebih berpikir:
“Aku harus menciptakan momen berarti sekarang!” (orientasi pada kebermaknaan).
Aku sekarang mengalami perubahan paradigma dalam memaknai waktu, dari yang dulunya linear dan berorientasi pada pencapaian, menjadi lebih cair dan berpusat pada kehadiran.
2. Kenangan vs Ketakutan akan Waktu yang Berlalu
Sekali lagi, karena waktu terus bergerak, maka enggak mau menyia-nyiakannya.
Aku mau bertanya, apa kamu pernah mengalami nostalgia dan FOMO (Fear of Missing Out)?
Kedua hal tersebut membuatmu merasa “waktu seolah mundur” karena kamu berusaha menangkap kembali perasaan bahagia yang pernah ada.
Nostalgia yang menarikmu ke belakang ("Dulu lebih bahagia") dan FOMO yang mendorongmu ke depan ("Aku harus mengejar lebih banyak momen"). Ini menciptakan ilusi waktu "mundur" karena:
1. Nostalgia sebagai Pelarian
Otak kita menyaring kenangan indah masa lalu (rosy retrospection), membuatmu ingin mengulanginya.
Contoh: Kamu rindu masa kecil yang terasa lebih sederhana, sementara kini dibebani tanggung jawab.
2. FOMO sebagai Alarm Eksistensial
Kesadaran akan waktu yang terbatas memicu kecemasan: "Apa aku sudah hidup dengan benar?" Media sosial memperparah ini dengan membanjirimu gambar "momen sempurna" orang lain.
3. Paradoks "Waktu Mundur"
Kamu berusaha mengejar perasaan bahagia masa lalu (backward-looking), tapi sekaligus terobsesi menciptakan kenangan baru (forward-looking).
Hasilnya: Waktu terasa seperti gangsing berputar tapi tak benar-benar bergerak maju.
Dampaknya:
- Kamu terjebak dalam analysis paralysis: terlalu banyak merenung, kurang bertindak.
- Momen sekarang justru terlewat karena sibuk mengkhawatirkan masa lalu atau masa depan.
Solusi:
- "Presence over Preservation": Fokus pada kehadiran penuh (mindfulness) dalam setiap aktivitas, alih-alih memaksakan diri mengabadikan momen setiap detik.
- Nostalgia Sehat: Gunakan kenangan sebagai inspirasi, bukan penjara. Contoh: "Dulu senang naik sepeda, sekarang aku bisa ajak anakku melakukannya."
3. "Time is Going Down" sebagai Alarm Hidup
Ketika ulang tahun tak lagi sekedar perayaan, tapi menjadi pengingat halus bahwa, “waktu hidupmu terus berkurang.” Ini bukan menakut-nakuti, melainkan memacu hidup lebih bermakna.
Coba Lakukan Praktik Memento Mori:
- Coba bayangkan kamu pernah melihat bunga layu di hadapanmu. Itu sebagai pengingat akan ketidakkekalan.
- Kamu juga berlatih visualisasi dengan membayangkan “Ini hari ulang tahun terakhirku dan apa yang ingin ku lakukan?” Lalu hidupilah itu sekarang.
- Kamu juga harus sering melakukan penulisan jurnal dengan menulis
“Hari ini, aku benar-benar hidup ketika...”
“Dan aku bersyukur telah...”
Legacy dalam Arti Sesungguhnya
Legacy dalam makna sejati bukan tentang ketenaran atau kekayaan, melainkan tentang jejak abadi yang kita tinggalkan dalam ingatan dan kehidupan orang-orang yang kita cintai serta dunia sekitar. Ini adalah warisan tak kasat mata berupa cinta, kebijaksanaan yang terus hidup.
Bagi keluarga, legacy tercermin dari pertanyaan sederhana namun mendalam:
"Apa yang akan anak-anakku kenang dariku kelak? Nilai-nilai apa yang akan mereka teruskan?"
Sementara bagi dunia yang lebih luas, legacy diukur dari kontribusi bermakna sekecil apa pun, mungkin sebuah ide yang menginspirasi, bantuan tanpa pamrih, atau karya kreatif yang menyentuh hati orang lain. Pada hakikatnya, legacy sejati adalah tentang bagaimana kita membuat orang lain merasa dihargai, dipahami, dan diingat - bukan karena apa yang kita miliki, melainkan karena bagaimana kita membuat mereka merasa ketika bersama kita.
4. Cara Menghadapi Perasaan Ini
a. Buat Memory dan Momen Sederhana
- Catat atau abadikan momen sekecil apapun itu yang pernah kamu alami bareng orang-orang yang merasa berharga. Misal: makan malam bersama kelurga, berbincang kecil nan hangat, kumpul bersama teman-teman ternyaman di tempat yang tepat seperti alam, lalu abadikan melalui kamera.
- Fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
b. Jangkar Waktu
Mengabadikan momen yang sederhana, yang selalu memikat hati. Di dunia yang serba digital dan teknologi ini, rasanya sudah gampang melakukan hal ini.
c. Terima bahwa Semua Momen Tidak Harus Sempurna
- Kamu tidak bisa mengontrol semua kenangan, tapi bisa memilih untuk hadir sepenuhnya. Buruk atau baik.
- Menerima ketidaksempurnaan bisa membantu lebih menikmati proses
Perasaan-perasaan ini justru tanda kedewasaan, kita tidak hanya lagi mengejar masa depan, tapi juga membangun makna di setiap momen, ruang dan waktu.
Referensi/Daftar Pustaka:
Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The psychology of optimal experience. Harper & Row.
Erikson, E. H. (1959). Identity and the life cycle. International Universities Press.
Faulkner, W. (1951). Requiem for a Nun. Random House.
Heidegger, M. (1927). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row. (Original work published 1927)
Nietzsche, F. (1883). Thus Spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin Classics. (Original work published 1883–1891)
Seneca. (circa 65 AD). Letters from a Stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin Classics.
Wittmann, M. (2011). The inner experience of time. Philosophical Transactions of the Royal Society B, 366(1565), 555–566. https://doi.org/10.1098/rstb.2010.0253
Referensi Tambahan (Budaya & Konsep)
- Ichi-go ichi-e: Konsep Zen Jepang tentang kesementaraan momen.
- Memento mori: Praktik refleksi kefanaan dalam tradisi Stoik.
- Wabi-sabi: Estetika Jepang tentang menerima ketidaksempurnaan dan kesementaraan.

keren banget❤️
BalasHapusterima kasih😊
Hapuskegelisahan gw klo mau ultah wkwkw
BalasHapusthe best 💗💗
BalasHapus💗
Hapussi serba bisa
BalasHapusWaktu kerasa cepet bgt emang🥲
BalasHapus🥲
Hapussuka banget dengan kata “berpusat kehadiran” keren viendy
BalasHapus