"Jalan Pulang" -Vol. 03 (Cerita Mini)

 


...

Tahun 2023, di Stasiun Tawang, Semarang. Terlihat ada seorang lelaki dewasa yang sedang berdiri dan akan melakukan boarding. Dia terlihat tegar dan pemberani namun sebenarnya hatinya perasa dan rapuh. Walaupun status pandemi COVID-19 telah berakhir, lelaki dewasa itu masih merasakan pilu di hatinya. Begitu banyak masalah yang dia hadapi; mulai dari orang tuanya bercerai, bagaikan sebuah ombak besar yang menghantam kapalnya, dan kini kisah cintanya pun tak semanis madu, malah lebih seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya.

Lelaki dewasa itu bernama Rian, dia adalah seorang pria yang berusia 28 tahun, yang ingin merantau ke Jakarta dengan harapan untuk memperbaiki kondisi finansial keluarganya. Rian memiliki tujuan untuk menyatakan perasaannya pada Maya, wanita yang selama ini memenuhi hatinya. Namun, trauma masa lalu dan keraguan akan perasaannya sendiri menjadi halangan besar bagi Rian dalam mewujudkan keinginannya tersebut.

Pria berusia 28 tahun itu memang selalu kesulitan untuk mengungkapkan perasaan cintanya. Trauma masa lalu yang membuatnya terluka parah telah membuatnya menutup hati rapat-rapat. Ia begitu takut untuk jatuh cinta lagi, takut untuk kembali merasakan sakit yang mendalam. Maka, selama ini, ia selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, mencoba menutup rapat-rapat senandung cinta yang hanya bergema di dalam hatinya.

Namun, semua itu berubah sejak ia bertemu dengan Maya. Wanita itu seakan menyihir hatinya dengan senyum lembut dan sorot mata yang teduh. Rian tak bisa lagi mengelak, wanita ini seperti cerita yang ingin ditulis Rian tanpa akhir. Perasaan itu perlahan-lahan muncul, memenuhi rongga dadanya. Ia jatuh cinta, begitu dalam dan tak terkendali.

Tapi setiap kali berjumpa dengan Maya, Rian selalu berusaha menyembunyikan getaran di jantungnya. Ia takut jika Maya menyadari perasaannya dan justru menjauh. Padahal, Rian sangat ingin mengungkapkan isi hatinya, ingin menjadikan Maya sebagai satu-satunya wanita di raganya.

Saat sebelum boarding dan menunggu kereta datang, Rian menarik napas panjang sembari mengamati kerumunan orang yang berlalu-lalang di stasiun. Matanya menyapu seluruh penjuru, mencoba menemukan sosok yang selama ini memenuhi hatinya. Alis Rian bertaut, kening berkerut, sementara matanya menyipit, berusaha menembus kerumunan. Namun, sejauh mata memandang, ia tak menemukan tanda-tanda kehadiran Maya.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut menyapa gendang telinganya,

“Rian?”

Jantung Rian seakan berhenti berdetak sesaat. Dengan perlahan, ia menolehkan kepala dan melihat Maya berdiri di hadapannya, tersenyum lembut. Tanpa bisa ditahan lagi, segaris senyum mengembang di wajah Rian. Ia tak menyangka, ternyata Maya datang menemuinya di stasiun, entah untuk terakhir kalinya ataukah akan ada kesempatan lain bagi mereka untuk bertemu kembali.

“Hei, kamu datang untukku?” tanya Rian dengan suara tersedu-sedu, seakan menumpahkan segala kerinduan yang telah lama terpendam di dalam dada.

“Iya, kebetulan aku mau ke kota lama,” ujar Maya, mata berbinar menahan haru. “Di perjalanan, aku membuka sosmed dan melihat kamu posting di stasiun Tawang ini. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak mampir.”

Rian merasakan kehangatan memenuhi dadanya, senyum lebar terkembang di wajahnya dan penuh harapan.

“Mau ke kota lama ya? hmm..” ujar Rian, berusaha menyembunyikan nada getir di suaranya. “Kebetulan sekali aku juga akan ke sana. Tapi… kamu tahu, aku harus segera berangkat. Aku tak bisa tinggal lama-lama di sini.”

Maya menundukkan kepalanya, jemarinya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku tahu, Rian. Kamu harus pergi, meninggalkan kota ini, meninggalkan… aku.”

Rian dapat mendengar suara Maya yang bergetar, menahan tangis. Hatinya terasa remuk, melihat wanita yang dicintainya begitu terluka. Perlahan, ia meraih tangan Maya, menggenggamnya erat.

“Maya, dengar,” ucapnya lembut. “Aku… aku juga enggak ingin pergi. Tapi ini demi masa depanku, demi kita berdua. Aku harus melakukannya.”

Maya menatap Rian dengan sorot kebingungan, kepalanya sedikit miring ke samping. “Demi kita?” ulangnya, alisnya berkerut dalam. “Apa maksudmu, Rian?”

Rian balas menatap Maya, tatapan matanya penuh dengan determinasi. Perlahan, ia menggenggam tangan Maya, jemarinya membelai lembut punggung tangan wanita itu.

Rian menatap Maya dengan sorot mata yang penuh keraguan. Jantungnya berdebar kencang, telapak tangannya terasa dingin dan basah. Dengan susah payah, ia menelan ludah sebelum akhirnya membuka suara.

“Maya, bolehkah aku mengatakan sesuatu?” tanya Rian pelan, hampir berbisik.

Maya membalas tatapan Rian, sorot matanya begitu lembut, seakan menenangkan gejolak di dalam diri pria itu. “Tentu saja, Rian. Katakan saja,” sahutnya dengan senyum manis.

Rian menarik napas panjang, berusaha meredakan kegugupannya. Namun, saat ia hendak membuka mulut, kata-kata itu seakan tercekat di tenggorokannya. Rian tergagap, “Sebenarnya, aku… aku… aku menyukaimu, Maya. Maksudku, aku… aku…” Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya, seolah lidahnya kelu.

Maya terdiam sejenak, menatap Rian lekat-lekat. Kemudian, perlahan-lahan, senyum mengembang di wajahnya. “Aku juga menyukaimu, Rian,” ujarnya lembut.

Rian tertegun, terkejut bukan main. Ia tak percaya bahwa perasaannya ternyata terbalas. Namun, di saat yang sama, rasa takut kembali menyelimuti hatinya. Bayangan akan luka masa lalu menghantui pikirannya, membuatnya ragu untuk membuka hati sepenuhnya.

Lalu Maya mengangkat wajahnya, air mata mengalir di pipinya. “Tapi aku takut, Rian. Aku takut kamu tak akan kembali. Aku takut kamu akan melupakanku.”

Rian menggeleng tegas, “Tidak, Maya. Tidak akan pernah. Kamu… kamu adalah segalanya untukku.” Ia menarik Maya ke dalam dekapannya, membiarkan air mata wanita itu membasahi kemejanya.

“Percayalah padaku, Maya. Aku akan kembali untukmu. Kita akan bersama lagi, aku janji.”

Maya mengangguk pelan, mempererat pelukannya pada Rian. Keduanya tahu, perpisahan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan yang lebih panjang. Dan kali ini, mereka akan menghadapinya bersama-sama, tak peduli betapa beratnya rintangan yang akan mereka hadapi.

Rian berdiri ragu di ambang batas antara peron dan ruang pengantar, seakan terpaku di tempat. Matanya tak henti-hentinya terpaku pada sosok Maya yang masih berdiri di ruang tunggu, menatap ke arah Rian. Matanya memandang lekat, berusaha menyimpan setiap detail wajah cantik kekasihnya itu ke dalam ingatannya.

Maya tersenyum lembut, meski Rian dapat melihat kilatan kesedihan di matanya. “Rian, hati-hati di jalan, ya?” ujarnya pelan, suaranya sedikit bergetar.

Rian mengangguk kaku, lidahnya terasa kelu untuk sekedar membalas ucapan Maya. Ia tahu, jika ia membuka suara, air matanya pasti akan tumpah. Perlahan, Rian melangkah masuk ke dalam kereta, namun matanya masih tak bisa lepas dari sosok Maya.

Peluit kereta mulai berbunyi, menandakan bahwa waktu keberangkatan telah tiba. Rian menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hatinya. Dengan perlahan, ia menutup pintu kereta, tak mampu lagi menahan air mata yang mengalir di pipinya.

Rian berdiri di dekat jendela, mengamati Maya yang semakin mengecil seiring mulai bergeraknya kereta. Jemari Rian menempel pada kaca jendela, seolah ingin meraih Maya yang tertinggal di ruang tunggu. Hatinya terasa remuk, seakan-akan ia telah meninggalkan separuh dirinya di sana.

Rian menghela napas panjang, menatap sendu pada layar ponselnya yang menampilkan foto dirinya bersama Maya, wanita yang telah memenuhi hatinya. Kereta yang ditumpangi Rian kini semakin melaju, membawanya semakin menjauh dari tempat yang telah menyimpan begitu banyak kenangan.

Sejak pertemuan terakhir mereka di stasiun, Rian dan Maya semakin dekat. Namun, Rian masih belum berani untuk mengungkapkan perasaannya secara utuh. Trauma masa lalunya masih terus menghantui, membuatnya ragu dan takut untuk membuka hati kembali.

Rian memandang sendu pada pemandangan di luar jendela. Rian menyukai perjalanan saat Rian melakukan recollecting thoughts (mengingat kembali pikiran) saat-saat bersama Maya terasa begitu singkat, namun begitu berharga baginya. Ia ingin sekali mengucapkan kata-kata cinta yang selama ini tertelan di tenggorokannya, namun rasa takut selalu menghantuinya.

Tiba-tiba, ponsel Rian bergetar, menandakan ada pesan masuk. Rian membukanya dan menemukan pesan dari Maya.

“Rian, hati-hati di jalan. Aku akan selalu merindukanmu.”

Rian tersenyum miris. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus menghadapi rasa takutnya dan membuka hatinya kembali. Meskipun ia masih ragu, namun ia yakin, dengan dukungan Maya, ia pasti bisa melewati semua itu.

Dengan mantap, Rian mengetikkan balasan, “Aku juga akan selalu merindukanmu, Maya.”

Setelah menekan tombol kirim, Rian merasa beban di hatinya sedikit terangkat. Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan-kenangan indah bersama Maya memenuhi pikirannya. Kali ini, ia bertekad untuk mengungkapkan isi hatinya, tak peduli seberapa besar rasa takutnya. Karena bersama Maya, ia tahu, ia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini ia dambakan. 

Meskipun dibayangi oleh luka masa lalu. Rian akhirnya mampu mengatasinya dan membuktikan bahwa cinta sejati mampu mengalahkan segala rintangan. Selain itu, cerita ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya mempertahankan dan memperjuangkan hubungan yang berharga, meskipun harus melalui perpisahan jarak dan waktu sementara, meskipun harus selalu mengatakan ‘sabar’ yang sebagai senjata utama. Karena pada akhirnya semua tentang pembelajaran dan penerimaan.

 

Komentar

Posting Komentar

Populer Post

Time is Going Down: Ketika Waktu Terasa Berlari tapi Hidupmu Ingin Berjalan

Terbenam Dalam Cakrawala - Sebuah Kisah tentang Kehilangan, Pengorbanan, dan Penerimaan